Cerpen - Itu... Negaraku! (part 1)
oleh: Anindita Destriana Sari
Membicarakan tentang sekolah, kalian pasti masih ingat
pelajaran Bahasa Indonesia materi puisi yang membicarakan tentang betapa
kayanya negara kita, Indonesia. Yang rata-rata puisi tersebut berisikan tentang
hamparan sawah nan hijau, burung bersahut-sahutan, sejuknya udara, atau mungkin
ikan yang melimpah di lautan. Aah, masa iya sih. Di daerah tempat tinggalku tak
ada sawah, malah yang terlihat lebih banyak hamparan gedung pencakar langit.
Suara burung pun jarang sekali terdengar, paling burung milik Pak Broto,
pemilik rumah sebelah yang memang hobi mengoleksi burung. Sejuk? Yaah, memang
sejuk. Mungkin karena terlalu sejuk sehingga warna kulitku tak jauh berbeda
dengan Suku Pigmi. Jika untuk ikan yang katanya melimpah di lautan, entahlah
aku tak tau. Aku hanya pernah membaca sobekan koran yang kutemukan di pinggir
jalan, berisikan tentang nelayan yang ingin pensiun dikarenakan tangkapan
mereka semakin menurun.
Bagaimana dengan pelajaran Pkn? Masih ingatkah kalian
tentang demokrasi, korupsi, atau tentang hukum yang berlaku di negara tercinta
ini? Sebenarnya aku juga tak terlalu mengerti tentang hal itu. Saat masih
sempat merasakan duduk di bangku sekolah, guruku mengatakan bahwa dengan sistem
demokrasi semua orang dapat mengeluarkan pendapatnya sehingga akan terjalin
keseimbangan antara rakyat dengan pemerintah. Tapi aku tak mengerti mengenai
keseimbangan itu, yang kulihat hanyalah anak-anak muda memakai jaket dengan
berbagai warna, ada yang kuning, biru, hijau, dan mereka membawa sebuah papan,
ada yang bertuliskan “Kami tidak setuju harga BBM naik, pemerintah tak
memikirkan rakyat!!”, adapula yang bertuliskan “Kami menolak adanya pembatasan
penggunaan situs di internet! Hal tersebut melanggar HAM!!”, masih banyak lagi
tulisan yang kulihat. Adapula pemuda-pemuda yang melempar batu ke arah puluhan
bahkan mungkin ratusan baris polisi yang berjejer dengan tameng ditangan, dan
sesaat kemudian terdengar suara letusan peluru yang pelatuknya sengaja ditarik
oleh beberapa polisi dari barisan tersebut. Mungkin kejadian tersebut yang
disebut ‘keseimbangan’, entahlah. Lalu bagaimana dengan korupsi dan hukum? Yang
kutahu korupsi itu seperti tikus jalanan tak tahu diri, diberi kepercayaan
justru menusuk dari belakang. Susah payah aku membanting tulang dan
mengeluarkan keringat untuk menelan sebutir nasi, namun ‘orang besar’ justru
dengan mudah menyelipkan uang negara ke kantong rekening mereka. Korupsi sudah
menyebar, namun nyatanya hukum tak memberi ketegasan, justru memberi kompromi.
Sama halnya seperti Gayus Tumbukan
yang mendapat fasilitas penjara ‘bintang lima’. Di buku pelajaran yang dulu
kuterima terdapat kata “hukum tak bisa disuap dan tak pandang bulu”, faktanya
kata-kata itu hanyalah rangkaian kata tanpa arti. Mungkin ‘bekas’ Putri
Indonesia tahun 2005 yang sekarang juga sedang ramai dibicarakan karena
tersandung kasus korupsi, sebentar lagi akan mengikuti seniornya (Gayus Tumbukan) menuju penjara ‘bintang
lima’.
“Bukan lautan, hanya
kolam susu..
Kail dan
jala ikut menghidupimu
Tiada
badai tiada topan kau temui
Ikan dan
udang menghampiri dirimu
Orang
bilang tanah kita tanah surga
Tongkat
kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah
surga
Tongkat kayu dan batu jadi
tanaman”
Taukah kalian lagu diatas? Ya, mungkin tak asing terdengar
di telinga kalian. Tapi menurutku itu hanya bualan belaka. Jika lautan berubah
jadi kolam susu, mungkin aku tak kurus seperti sekarang ini. Karena setidaknya
ada gizi di dalam tubuhku yang terpenuhi. Ikan-ikan Indonesia besar, segar, dan
tersebar dimana-mana, ‘katanya’. Ah masa sih, ko aku tak pernah memakannya. Mungkin
karena dijual pada negara-negara yang menjajah kita. Lagipula jika tidak, aku
juga tetap tak bisa memakannya. Maklum, aku hanya mampu beli ikan asin. Itupun
sebulan sekali belum tentu. Tanah di Indonesia sangat subur, kayu dan batu
dilempar bisa jadi tanaman, tapi itu juga masih ‘katanya’. Ko di daerah ku
tidak? Yang ada lahan yang ditanami pepohonan semakin berkurang. Menurutku lagu
diatas liriknya salah, yang benar dan sesuai dengan keadaan nyata ya seperti
dibawah ini
“Bukan lautan, hanya
kolam susu..
Tapi kenapa
diriku kurang gizi slalu
Tiada
badai tiada topan kau temui
Hanya
gempa dan banjir ada disini
Orang
bilang tanah kita tanah surga
Surga
untuk orang-orang yang kaya
Orang bilang tanah kita tanah
surga
Tapi di tempatku seperti neraka”
Kalian
juga pasti tak asing dengan kata Zamrud Khatulistiwa. Ya, itu adalah sebutan
untuk negara kita. Karena jika dilihat dari atas Indonesia terlihat berwarna
hijau, tentu dikarenakan pepohonan yang rindang dan lebat. Namun itu dulu.
Sekarang? Kata ‘orang luar’ sebutan Zamrud Khatulistiwa untuk Indonesia sudah
kadaluwarsa. Jika masih dilihat dari atas, sekarang Indonesia lebih cocok
diberi sebutan Brown Khatulistiwa. Ya wajarlah, hutan-hutan di Indonesia memang
kebanyakan sudah berwarna coklat. Bukan karena sedang musim gugur atau apa,
tetapi karena sebagian besar sudah habis ditebang dan terbakar. Oh ya, lebih tepatnya
dibakar bukan terbakar. Mungkin terlalu miskin negara ini sehingga penduduknya
terpaksa merusak alam demi mendapatkan uang. Ck..ck..
Oh ya, kembali ke awal. Apakah kalian tahu mengapa aku bisa
menjadi top trending di kalangan orang-orang sekarang? Apakah kalian
benar-benar ingin tahu? Jika kalian benar-benar ingin tahu, kusarankan kalian
membaca cerita tentangku ini jangan setengah-setengah. Bacalah secara tuntas,
sampai lembar terakhir. Tapi itu hanya saran saja.
Ceritaku ini akan bersambung di part 2, jadi tunggu saja ya jika memang ingin tahu ceritaku, kupastikan jika kalian membaca ceritaku, 'pengetahuan' kalian tentang Indoenesia akan bertambah :)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar