Cerpen - Itu... Negaraku! (part 1)





oleh: Anindita Destriana Sari 
           Kalian pasti sudah mengenalku kan? Jika kalian mengikuti berita, pasti kalian sudah mengenalku. Ya, akhir-akhir ini banyak gambar mukaku di koran maupun televisi. Eits, tapi jangan mengira aku artis yang sedang naik daun. Aku bukanlah artis yang sering bermain di sinetron yang “ditukar-tukar” itu dan aku memang tidak mempunyai bakat di bidang itu. Kalian tak mengenalku? Ah, berarti kalian tak mengikuti perkembangan zaman. Banyak media yang meliput tentang diriku, namun aku bukanlah artis ataupun TKI yang pulang dengan luka di tubuhnya. Atau.. kalian pikir aku seorang pembunuh, buronan, atau teroris? Itu tak mungkin kulakukan, aku kan diajarkan tata karma di sekolah. Walaupun saat masih sekolah aku tak diberi bekal berupa uang, setidaknya aku masih diberi bekal berupa moral dan budi pekerti oleh orang tuaku yang hanya lulusan SD.
          Membicarakan tentang sekolah, kalian pasti masih ingat pelajaran Bahasa Indonesia materi puisi yang membicarakan tentang betapa kayanya negara kita, Indonesia. Yang rata-rata puisi tersebut berisikan tentang hamparan sawah nan hijau, burung bersahut-sahutan, sejuknya udara, atau mungkin ikan yang melimpah di lautan. Aah, masa iya sih. Di daerah tempat tinggalku tak ada sawah, malah yang terlihat lebih banyak hamparan gedung pencakar langit. Suara burung pun jarang sekali terdengar, paling burung milik Pak Broto, pemilik rumah sebelah yang memang hobi mengoleksi burung. Sejuk? Yaah, memang sejuk. Mungkin karena terlalu sejuk sehingga warna kulitku tak jauh berbeda dengan Suku Pigmi. Jika untuk ikan yang katanya melimpah di lautan, entahlah aku tak tau. Aku hanya pernah membaca sobekan koran yang kutemukan di pinggir jalan, berisikan tentang nelayan yang ingin pensiun dikarenakan tangkapan mereka semakin menurun.
          Bagaimana dengan pelajaran Pkn? Masih ingatkah kalian tentang demokrasi, korupsi, atau tentang hukum yang berlaku di negara tercinta ini? Sebenarnya aku juga tak terlalu mengerti tentang hal itu. Saat masih sempat merasakan duduk di bangku sekolah, guruku mengatakan bahwa dengan sistem demokrasi semua orang dapat mengeluarkan pendapatnya sehingga akan terjalin keseimbangan antara rakyat dengan pemerintah. Tapi aku tak mengerti mengenai keseimbangan itu, yang kulihat hanyalah anak-anak muda memakai jaket dengan berbagai warna, ada yang kuning, biru, hijau, dan mereka membawa sebuah papan, ada yang bertuliskan “Kami tidak setuju harga BBM naik, pemerintah tak memikirkan rakyat!!”, adapula yang bertuliskan “Kami menolak adanya pembatasan penggunaan situs di internet! Hal tersebut melanggar HAM!!”, masih banyak lagi tulisan yang kulihat. Adapula pemuda-pemuda yang melempar batu ke arah puluhan bahkan mungkin ratusan baris polisi yang berjejer dengan tameng ditangan, dan sesaat kemudian terdengar suara letusan peluru yang pelatuknya sengaja ditarik oleh beberapa polisi dari barisan tersebut. Mungkin kejadian tersebut yang disebut ‘keseimbangan’, entahlah. Lalu bagaimana dengan korupsi dan hukum? Yang kutahu korupsi itu seperti tikus jalanan tak tahu diri, diberi kepercayaan justru menusuk dari belakang. Susah payah aku membanting tulang dan mengeluarkan keringat untuk menelan sebutir nasi, namun ‘orang besar’ justru dengan mudah menyelipkan uang negara ke kantong rekening mereka. Korupsi sudah menyebar, namun nyatanya hukum tak memberi ketegasan, justru memberi kompromi. Sama halnya seperti Gayus Tumbukan yang mendapat fasilitas penjara ‘bintang lima’. Di buku pelajaran yang dulu kuterima terdapat kata “hukum tak bisa disuap dan tak pandang bulu”, faktanya kata-kata itu hanyalah rangkaian kata tanpa arti. Mungkin ‘bekas’ Putri Indonesia tahun 2005 yang sekarang juga sedang ramai dibicarakan karena tersandung kasus korupsi, sebentar lagi akan mengikuti seniornya (Gayus Tumbukan) menuju penjara ‘bintang lima’.
          “Bukan lautan, hanya kolam susu..
          Kail dan jala ikut menghidupimu
          Tiada badai tiada topan kau temui
          Ikan dan udang menghampiri dirimu
          Orang bilang tanah kita tanah surga
          Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”
          Taukah kalian lagu diatas? Ya, mungkin tak asing terdengar di telinga kalian. Tapi menurutku itu hanya bualan belaka. Jika lautan berubah jadi kolam susu, mungkin aku tak kurus seperti sekarang ini. Karena setidaknya ada gizi di dalam tubuhku yang terpenuhi. Ikan-ikan Indonesia besar, segar, dan tersebar dimana-mana, ‘katanya’. Ah masa sih, ko aku tak pernah memakannya. Mungkin karena dijual pada negara-negara yang menjajah kita. Lagipula jika tidak, aku juga tetap tak bisa memakannya. Maklum, aku hanya mampu beli ikan asin. Itupun sebulan sekali belum tentu. Tanah di Indonesia sangat subur, kayu dan batu dilempar bisa jadi tanaman, tapi itu juga masih ‘katanya’. Ko di daerah ku tidak? Yang ada lahan yang ditanami pepohonan semakin berkurang. Menurutku lagu diatas liriknya salah, yang benar dan sesuai dengan keadaan nyata ya seperti dibawah ini
          “Bukan lautan, hanya kolam susu..
          Tapi kenapa diriku kurang gizi slalu
          Tiada badai tiada topan kau temui
          Hanya gempa dan banjir ada disini
          Orang bilang tanah kita tanah surga
          Surga untuk orang-orang yang kaya
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tapi di tempatku seperti neraka”
Kalian juga pasti tak asing dengan kata Zamrud Khatulistiwa. Ya, itu adalah sebutan untuk negara kita. Karena jika dilihat dari atas Indonesia terlihat berwarna hijau, tentu dikarenakan pepohonan yang rindang dan lebat. Namun itu dulu. Sekarang? Kata ‘orang luar’ sebutan Zamrud Khatulistiwa untuk Indonesia sudah kadaluwarsa. Jika masih dilihat dari atas, sekarang Indonesia lebih cocok diberi sebutan Brown Khatulistiwa. Ya wajarlah, hutan-hutan di Indonesia memang kebanyakan sudah berwarna coklat. Bukan karena sedang musim gugur atau apa, tetapi karena sebagian besar sudah habis ditebang dan terbakar. Oh ya, lebih tepatnya dibakar bukan terbakar. Mungkin terlalu miskin negara ini sehingga penduduknya terpaksa merusak alam demi mendapatkan uang. Ck..ck..
          Oh ya, kembali ke awal. Apakah kalian tahu mengapa aku bisa menjadi top trending di kalangan orang-orang sekarang? Apakah kalian benar-benar ingin tahu? Jika kalian benar-benar ingin tahu, kusarankan kalian membaca cerita tentangku ini jangan setengah-setengah. Bacalah secara tuntas, sampai lembar terakhir. Tapi itu hanya saran saja.

Ceritaku ini akan bersambung di part 2, jadi tunggu saja ya jika memang ingin tahu ceritaku, kupastikan jika kalian membaca ceritaku, 'pengetahuan' kalian tentang Indoenesia akan bertambah :)

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman